Jumat, 17 Oktober 2014


Al-Ghazali







Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia,

Merupakan seorang filosof dan teolog muslim yang berasal dari Persia. Karyanya yang terkenal adalah Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama). Karya ini memberi sumbangan besar dalam kehidupan masyarakat.



Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa mempelajari disiplin ilmu jiwa ini adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan mengabaikan ilmu ini akan berakhir pada kerugian. "Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu lebih parah daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kecermatan tentang kaedah-kaedah penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan.

Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk mengarahkan tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni

  • kekuatan fikir, 
  • kekuatan syahwat dan 
  • kekuatan amarah. 

Maka jiwa yang sehat akan terwujud, jika ketiga kekuatan tersebut terarah dan terbina dengan baik.

pembinaan kekuatan fikir.
Dan terbinanya potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela, dst. Hikmah juga menjaga akal manusia agar tidak terjerumus kedalam limbah relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam.

Pengendlian dan pengarahan kekuatan syahwat.
Dengan terarahnya potensi ini, maka tercapailah kesederhanaan jiwa ('iffah). 'Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji.


Mengendalikan kekuatan amarahhingga tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).


Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa seseorang, jika dia telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas.


Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. 49:15)

Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya pada ayat di atas disertai dengan menafikan keraguan. Dan keraguan hanya bisa dinafikan dengan adanya keyakinan ilmu dan hikmah, yang diperoleh dari terarahnya potensi fikir. Berjihad dengan harta terlaksana berkat 'iffah yang lahir dari potensi syahwat yang telah dikendalikan. Sedangkan berjihad (mujahadah), tidak terlaksana kecuali adanya keberanian dan kesabaran yang merupakan buah pengendalian potensi amarah.

Dengan demikian jiwa yang sehat itu menurut imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan empat induk kesalehan, yakni :

  • hikmah, 
  • kesederhanaan ('iffah), 
  • keberanian (syaja'ah) dan 
  • keadilan ('adalah). 

Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja'ah) yang sempurna. Kesempurnaan 'iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna. (lihat: Mizanul 'Amal). Sebaliknya, ciri-ciri jiwa yang sakit adalah kosongnya jiwa dari keempat induk kesalehan di atas. Sakit jiwa bukan sekedar hilangnya akal (gila), tetapi ia juga hilangnya ketaatan pada Sang Khalik.

Arti Ruh,Nafs dan Akal menurut Imam Al-Ghazali

Ruh
Berbicara tentang Ruh maka tidak bisa dilepaskan dari salah satu faktor pendukung yang tak kalah penting, yaitu Hati.

Dalam hal ini hati mempunya dua makna,

Pertama adalah hati sebagai salah satu organ tubuh berupa sepotong daging yang terdapat pada tiap – tiap makhluk hidup.
Kedua adalah makna hati (Qalb, kalbu) sebagai sesuatu yang tak kasat mata (Lathifah), tidak dapat diraba dan bersifat Rabbani ruhani, dia adalah bagian utama dari manusia yang berpotensi mencerap ( memiliki daya tanggap atau persepsi) untuk mengenal dan mengetahui yang di tujukan kepadanya segala pembicaraan dan penilaian, yang di kecam dan yang di mintai pertanggung jawaban, meskipun dua makna hati dia tas berbeda akan tetapi tetap memiliki keterkaintan seperti keterkaitan antara Aradh (sifat yg berubah ubah) dengan Jisim,

Nafs
Kata Nafs mengandung beberapa makna ( jiwa, diri, nafsu, sukma, dsb). Namun yang berkaitan dalam pembahasan ini hanya ada dua makna saja ,

pertama yang mencakup emosi atau amarah dan ambisi atau hasrat dalam diri manusia (biasa disebut ‘nafsu”). Makna inilah yang biasa digunakan para ahli tasawuf , karena mereka mengartikan kata nafs sebagai sesuatu sifat yang tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka mengharuskan untuk melawan hawa nafsu atau pun mengekangnya.

Makna tersebut juga di isyaratkan oleh nabi Muhamad SAW seperti dalam sabdanya “musuhmu yang terbesar adalah hawa nafsu yang ada dalam dirimu”.

Makna kedua dari Nafs adalah seperti makna hati di atas, yaitu sesuatu yang abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki.

Sehingga dalam hal ini boleh dikatakan bahwa Nafs mempunyai dua makna Yaitu :

“Hawa nafsu” yang selalu menyuruh kedalam kejahatan dan tindakan tidak terpuji
Nafs sebagai jati diri manusia yang terpuji karena memiliki potensi untuk mengetahui tentang ALLAh dan segala sesuatu yang lain.

Akal
Kata ini juga mengandung beberapa makna, akan tetapi dalam hal ini hanya akan kita bahas dua makna saja

Pertama adalah “pengetahuan yang berkaitan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di dalam hati”.
Kedua adalah “bagian dari manusia yang menyerap kemampuan (sama seperti makna Hati diatas), seperti yang kita ketahui bahwa di dalam dir setiap orang ada semacam wadah untuk menampung pengetahuan, oleh karena itu kata akal kadang juga digunakan untuk menyebutkan tentang sifat yang melekat pada diri seseorang yang berpengetahuan.

Nabi Muhamad SAW bersabda “yang pertama kali di ciptakan oleh ALLAH adalah akal”. Sebab pengetahuan bersifat ‘Aradh (aksiden) tidak dapat dibayangkan sebagai (makhluk) ciptaan yang pertama, tentunya wadahnya telah tercipta sebelumnya atau bersamaan dengannya.

0 komentar:

Posting Komentar